Hal yang tidak bisa dipungkiri jika dalam sehari-hari kita membeli air minum kemasan dan mengatakan “Pak, beli Aqua satu.” Sebenarnya hal ini tidak begitu sering kita pikirkan karena kita membuat hal itu just going on. Tapi mari kita pikirkan mengapa kebanyakan orang menyebut semua air minum kemasan sebagai Aqua.
Satu hal yang harus kita ingat, produk air minum kemasan pertama dibentuk di Indonesia adalah Aqua, produk inovasi besar dari PT. Aqua Golden Mississipi. Cetusan ide dari Tirto Utomo, tepatnya pada 1973.
Berikut potongan penjelasan di Wikipedia:
"Tirto mendirikan pabrik pertamanya di Pondok Ungu, Bekasi, dan menamai pabrik itu Golden Mississippi dengan kapasitas produksi enam juta liter per tahun. Tirto sempat ragu dengan nama Golden Mississippi yang meskipun cocok dengan target pasarnya, ekspatriat, namun terdengar asing di telinga orang Indonesia. Konsultannya, Eulindra Lim, mengusulkan untuk menggunakan nama Aqua karena cocok terhadap imej air minum dalam botol serta tidak sulit untuk diucapkan. Ia setuju dan mengubah merek produknya dari Puritas menjadi Aqua. Dua tahun kemudian, produksi pertama Aqua diluncurkan dalam bentuk kemasan botol kaca ukuran 950 ml dengan harga jual Rp.75, hampir dua kali lipat harga bensin yang ketika itu bernilai Rp.46 untuk 1.000 ml."
Meledaknya produk ini memberikan satu hal baru kepada masyarakat Indonesia. Mereka bisa membawa air minum kemanapun tanpa harus bingung dengan gelas yang mudah tumpah. Bahkan pemerintah saat itu merekomendasikan produk ini sebagai produk anjuran untuk rakyat Indonesia, saat itu belum ada Badan POM. Disamping itu, saat itu belum ada produsen air minum kemasan lain sebagai tandingannya.
Aqua menjadi produk yang omsetnya semakin berlipatganda tiap tahunnya. Hal itu menunjukkan betapa besarnya sambutan masyarakat Indonesia terhadap produk ini. Tradisi pun dimulai, setiap orang yang pergi ke toko, mereka hanya mengenal satu nama Aqua. Tradisi itu berlanjut hingga bertahun-tahun kemudian. Tapi ada hal yang menjadikan sebutan Aqua menjadi aneh. Datangnya produk-produk baru dari berbagai tempat. Bahkan muncul juga beberapa produk lokal seperti Ades, Quarter, Aida, Club, dll. Tapi tetap saja, budaya yang sudah terbentuk selama puluhan tahun tidak bisa hilang begitu saja hanya karena masuknya produk baru.
Mungkin sekarang, sudah tidak semua orang yang terpeleset mengatakan “beli Aqua,” tapi tetap saja masih banyak orang yang menggunakan kata Aqua, dan merasa baik-baik saja dengan hal itu. Apakah budaya ini harus diubah demi meluruskan tata bahasa yang baik dan benar? Atau mungkin dibiarkan saja dan menjadikan Aqua sebagai merk paling terkenal di Indonesia? Mungkin jika ingin merubah tata bahasa ini diperlukan siaran intervensi di semua stasiun televisi Indonesia dan memunculkan Presiden dan Badan POM yang berpidato dan meminta kepada seluruh masyarakat untuk merubah penyebutan mereka terhadap air minum kemasan ini. Yang pasti, satu orang yang akan selalu tersenyum dengan kembuletan ini adalah Tirto Utomo.